PERAYAAN ACARA KHITANAN DI PULAU BUNGIN DARI MASA KE MASA & TANTANGAN KEHILANGAN JATI DIRI
PERAYAAN ACARA KHITANAN DI PULAU BUNGIN DARI MASA KE MASA & TANTANGAN KEHILANGAN JATI DIRI
Oleh : Sahabuddin Tison
Banyak cara yang dilakukan para orang tua untuk melihat anaknya
bahagia, tak terkecuali di Pulau Bungin, Sumbawa-NTB, atas nama sayang
seorang ibu tak urung mengabulkan permintaan anaknya, lain halnya dengan
seorang bapak yang terkadang agak formal dan penuh pertimbangan, namun
kembali lagi yang namanya anak kalau sudah minta tak mau ditawar bahkan
ditunda pun tak mau.
Baiklah pembaca yang budiman, kali ini kita akan membahas
tentang perayaan khitanan di Pulau Bungin. Sebagaimana kita ketahui
bahwa khitanan merupakan kewajiban yang melekat pada diri seorang setiap
muslim sehingga ada keterkaitan yang sangat erat antara perintah agama
dan corak kebiasaan masyarakat dalam mengejawantahkan perintah tersebut.
Di Pulau Bungin, dimana mayoritas penduduknya adalah suku
Bajo, suku yang dikenal sebagai pengembara laut ini punya cara
tersendiri dalam merayakan acara khitanan anak-anak mereka, sebelum
lebih jauh pada pembahasan, baiknya Saya jelaskan bahwa yang dimaksud
"Perayaan" di sini adalah kegiatan bergembira di luar substansi acara
yang hanya memotong bagian tertentu alat kelamin pria muslim.
Kekerabatan yang sangat kental di dalam masyarakat Bajo Pulau Bungin
melahirkan kesamaan pandang dalam merayakan acara khitanan ini, anak
yang akan dikhitan akan diarak keliling kampung untuk memperkenalkan
bahwa inilah anak yang akan dikhitan, lebih banyak orang yang melihat
maka lebih banyak yang tau bahwa itulah anak yang dikhitan, maka untuk
menarik perhatian sebanyak mungkin si anak diusung oleh orang banyak
(kerabat si anak) menggunakan media/wadah yang sangat menarik.
Hal inilah yang melatarbelakangi munculnya kreatifitas
masyarakat untuk merangkai alat pengusung sehingga tampil menarik,
bahkan jauh sebelum hari acara khitanan dimulai, pembuatan alat
pengusung ini sudah dipermak sedemikian rupa, ada yang dibuat menyerupai
perahu kuno, meyerupai perahu bercadik, phinisi, lambu, lelete (jenis
perahu), ada juga berupa Mobil, pesawat terbang, ikan, burung Elang
Laut, dll.
Setiap alat pengusung memerlukan pemikiran yang cukup panjang
dalam menentukan bentuk yang akan dibuat, menyesuaikan keinginan si anak
yang akan dikhitan, pamali-pamali yang mesti dihindari, namun di lain
sisi ini menjadi menarik sebab menjelma sebagai ajang adu kreatifitas
membuat replika-replika yang unik, tak jarang setiap alat pengusung
dicantumkan tulisan-tulisan yang nyentrik, terkadang juga dilengkapi
musik tape recorder (dulu). Adapun kapasitas penumpang alat pengusung
yang keren itu dua orang, satu orang untuk anak laki-laki yang akan
dikhitan dan satu lagi untuk untuk anak perempuan yang tak jauh usianya
dengan yang dikhitan sebagai pendamping, mereka pun dihias dengan
accesoris adat (*).
Pada perayaan khitan di Pulau Bungin menjadi begitu sakral dan
menghibur, sebab mengawinkan perintah agama dengan kreatifitas yang
tampil entertaint.
Namun pada perkembangannya, Kuda Lumping mulai menyasar pada
sirkuit alat pengusung yang menyerupai ikan dan kapal-kapalan itu, tabuh
rebana yang diiringi irama syair kitab barzanji bermetamorfosa menjadi
goyang oplosan yang sensual, pengusung yang meneyerupai ikan Marlin tadi
berubah menjadi kuda lumping dengan lidah terjulur, aroma yang tadinya
bersemayam serba "daun pandan" berubah menjadi aroma olahan nira, kemana
kreatifitas Masyarakat Pulau Bungin ? Kemana hasil fikir suku Bajo yang
sensual pada laut itu ? Yang tadinya melahirkan pengusung Ikan, Kapal,
perahu bercadik, Elang laut dll. Akankah kembali ? Kapan ? SAMPAI ENTAH !
Keharusan untuk duduk bersama guna membahas ketergerusan ini
menjadi tanggungjawab bersama, tidak berarti sikap ini anti akulturasi,
tidak bermaksud pula menolak asimilasi berikut budaya barunya? Namun
juga pembiaran berarti menodai keaslian, menelanjangi pakaian kearifan,
melukai perasaan sejarah komunitas masyarakat laut yang "kini" hampir
tiada berdaya.
Bersambung !
............................................
MARI, KITA, SEKARANG.
0 komentar: