MADUTAI TOYAH (Ritual Menanamkan Karakter Kebaharian Ala Suku Bajo)
MADUTAI TOYAH (Ritual Menanamkan Karakter Kebaharian Ala Suku Bajo)
Menyadari dirinya menggantungkan hidup di laut, orang-orang Bajo
memperhitungkan sebuah eksistensi kehidupan di laut, bagaimana ia
memperlakukan dan diperlakukan laut dalam waktu yang lama dengan tetap
dalam kondisi bersahabat. Orang-orang Bajo juga menyadari bahwa laut
tidak selalu tenang dan dan bisa ditaklukkan, sehingga dalam mengarungi
laut dibutuhkan mental dan jiwa kebaharian yang tinggi, tidak saja
persiapan mental namun persiapan fisikpun harus digembleng dalam bergaul
dengan laut.
Sehingga Orang-orang Bajo mempersiapkan segala halnya bagaimana racikan agar tetap eksist di laut dalam keadaan tenang dan bisa tampil gagah, agar nahkoda tetap bisa tampil bermartabat di laut, agar awak kapal tetap tampil terampil diombang ombak, agar fikir tetap fokus dan tidak terganggu ganasnya badai dan gelombang, ternyata orang-orang Bajo melahirkan sebuah ritual adat yang disebut Dutai Toyah.
Secara harfiah Dutai Toyah memiliki terjemahan Dutai berarti naik, Toyah berarti wadah berupa ayunan, Dutai Toyah berarti manaiki "ayunan", lebih dalam secara istilah suku Bajo berarti menjalani ritual menaiki ayunan sebagai bentuk penggemblengan dini pada anak-anak Bajo sebelum ditempa gelombang besar dan badai yang ganas.
Di dalam ritual ini, anak-anak belia suku Bajo akan diayun selama kurang lebih 2-3 hari, dipimpin oleh seorang pendamping spiritual/sandro lengkap dengan sesajennya, orang yang ditoyah akan dipangku sandro untuk menduduki naik pada Toyah tersebut, kemudian menyanyikannya kisah-kisah pertempuran laut, kisah-kisah pelayaran, nasihat-nasihat pelaut dll yang dituangkan dalam bentuk Iko-iko, yakni syair khas suku Bajo.
Melalui ritual madutai toyah, seorang anak diharapkan mampu memahami ilmu navigasi, paham cuaca, mampu berfikir tenang di tengah gelombang dan mampu bertahan secara mental dan fisik selama dalam pelayaran dengan segala resikonya. Yang lebih menarik, secara filosofis Madutai Toyah mampu melahirkan sosok yang siap total dalam menjalani kehidupan dengan segenap tantangannya, suatu kombinasi yang luar biasa, yang melahirkan anak-anak pelaut yang tangguh, berwibawa dan cerdas. Laut mana yang tak bisa diarungi jika wibawa sudah menjadi pertaruhan punggawa bermental baja, samudera mana yang tak bisa ditaklukkan jika darah sudah menyatu bersama gemuruh ombak yang membuncah, sudah barang tentu menjadi hal yang memalukan jika pelaut terlebih seorang punggawa bermental teri, dibelai ombak laut menjadikannya muntah-muntah, rindu rumah dikala berlayar menahun di tengah laut.
Sedangkan posisi Madutai Toyah di dalam suku Bajo itu sendiri tidak menjadi sebuah keharusan, melainkan sebuah kebutuhan setiap anak-anak belia yang memperlihatkan tanda-tanda loyo dan cengeng, melihat kondisi ini orang tua memutuskan untuk menempuh ritual ini. Madutai Toyah ini pula yang memelihara jiwa dan karakter tarung samudera para pemuda Bajo yang gemar bercengkerama dengan badai dan ombak
Sehingga Orang-orang Bajo mempersiapkan segala halnya bagaimana racikan agar tetap eksist di laut dalam keadaan tenang dan bisa tampil gagah, agar nahkoda tetap bisa tampil bermartabat di laut, agar awak kapal tetap tampil terampil diombang ombak, agar fikir tetap fokus dan tidak terganggu ganasnya badai dan gelombang, ternyata orang-orang Bajo melahirkan sebuah ritual adat yang disebut Dutai Toyah.
Secara harfiah Dutai Toyah memiliki terjemahan Dutai berarti naik, Toyah berarti wadah berupa ayunan, Dutai Toyah berarti manaiki "ayunan", lebih dalam secara istilah suku Bajo berarti menjalani ritual menaiki ayunan sebagai bentuk penggemblengan dini pada anak-anak Bajo sebelum ditempa gelombang besar dan badai yang ganas.
Di dalam ritual ini, anak-anak belia suku Bajo akan diayun selama kurang lebih 2-3 hari, dipimpin oleh seorang pendamping spiritual/sandro lengkap dengan sesajennya, orang yang ditoyah akan dipangku sandro untuk menduduki naik pada Toyah tersebut, kemudian menyanyikannya kisah-kisah pertempuran laut, kisah-kisah pelayaran, nasihat-nasihat pelaut dll yang dituangkan dalam bentuk Iko-iko, yakni syair khas suku Bajo.
Melalui ritual madutai toyah, seorang anak diharapkan mampu memahami ilmu navigasi, paham cuaca, mampu berfikir tenang di tengah gelombang dan mampu bertahan secara mental dan fisik selama dalam pelayaran dengan segala resikonya. Yang lebih menarik, secara filosofis Madutai Toyah mampu melahirkan sosok yang siap total dalam menjalani kehidupan dengan segenap tantangannya, suatu kombinasi yang luar biasa, yang melahirkan anak-anak pelaut yang tangguh, berwibawa dan cerdas. Laut mana yang tak bisa diarungi jika wibawa sudah menjadi pertaruhan punggawa bermental baja, samudera mana yang tak bisa ditaklukkan jika darah sudah menyatu bersama gemuruh ombak yang membuncah, sudah barang tentu menjadi hal yang memalukan jika pelaut terlebih seorang punggawa bermental teri, dibelai ombak laut menjadikannya muntah-muntah, rindu rumah dikala berlayar menahun di tengah laut.
Sedangkan posisi Madutai Toyah di dalam suku Bajo itu sendiri tidak menjadi sebuah keharusan, melainkan sebuah kebutuhan setiap anak-anak belia yang memperlihatkan tanda-tanda loyo dan cengeng, melihat kondisi ini orang tua memutuskan untuk menempuh ritual ini. Madutai Toyah ini pula yang memelihara jiwa dan karakter tarung samudera para pemuda Bajo yang gemar bercengkerama dengan badai dan ombak
0 komentar: