KEARIFAN LOKAL MENJAGA POPULASI HIU
LEGENDA SI KAREO DAN IKAN HIU (Sebuah dongeng kearifan lokal suku Bajo dalam menjaga kelestarian populasi Hiu)
Dikisahkan dalam penuturan orang-orang tua masyarakat laut, bahwa ada
sebuah pulau yang sangat bersih, indah dan elok.Pulau tersebut terletak
di tengah laut menjelma berupa gundukan pasir putih yang timbul kala air
laut surut, oleh karena letaknya yang sangat indah, maka lambat laun
pulau tersebut menarik perhatian beberapa masyarakat pesisir sekitarnya
untuk bermukim, hinga pada suatu ketika ada seseorang nelayan tua yang
mencoba tinggal dan membangun rumah panggung di pulau tersebut. Oleh
karena menjanjikan kehidupan yang layak sebagai nelayan, maka nelayan
lainpun mulai tertarik untuk membangun rumah dan tinggal di pulau
tersebut. Dari tahun ke tahun pulau tersebut mulai ramai didiami oleh
masyarakat nelayan, hingga pulau itu diberi nama Pulau Samo.Sebagaimana
layaknya pemukiman, tentu banyak sekali dinamika yang terjadi,seperti
rutinitas masyarakatnya, kegiatan kesenian, kebudayaan, dan kesibukan
sebagai nelayan. Pada perkembangannya, sudah banyak berdiri berjejer
rumah-rumah panggung yang terbuat dari kayu di sepanjang tepian Pulau
Samo, takjauh dari tepian itu, berjejer pula perahu-perahu nelayan
dengan segala bentuk dan ukurannya.
Pada suatu
ketika, seorang bocah yang berasal dari Pulau Samo bernama Kareo
bergabung dalam sebuah rombongan masyarakat nelayan berlayar ke suatu
pulau tak berpenghuni untuk mengumpulkan kerang-kerangan, perjalanan
ditempuh dalam waktu tujuh hari tujuh malam, ditempuh dengan menggunakan
armada kapal yang lumayan besar, selama perjalanan ombak sangat besar
dan badai sesekali melintang, Kareo sama sekali tidak terganggu oleh
ganasnya alam, ia sadar sebagai seorang yatim piatu harus tegar dan
tidak boleh mengeluh, demi menafkahi neneknya yang tua renta. Saat kapal
tiba di tujuan,jangkar dilabuhkan dan penumpang kapal segera turun
untuk mencari kerang-kerangan. pada hari pertama, Kareo mendapat hasil
kerang-kerangan yang banyak, hari kedua Kareo mengejutkan bapak-bapak
nelayan dengan hasilnya yang lebih banyak lagi daripada hari pertama,
sampai hari ketiga kakinya tertusuk duri laut hingga berdarah, ia pun
memutuskan untuk istirahat dan naik ke kapal lebih awal, sebab rombongan
pencari kerang akan pulang dua hari ke depan, namun betapa kagetnya ia,
ketika keluar dariselah-selah tumbuhan bakau, dengan langkah kaki yang
tidak tegak karena menahan sakit, betapa kagetnya dia saat perairan
tempat mengambil kerang itu sepi,tidak ada satu perahu pun yang
berlabuh, jangankan berlabuh, yang melintasi saja tidak ada. Darah terus
mengalir deras dari telapak kaki kirinya yang tertusuk duri laut,
dipikulnya kerang-kerangan itu di pundak kanannya yang sangat berat, ia
berjalan menyusuri hamparan pasir di surutnya air laut itu, iaterus
mencoba melayangkan pandangan namun tak jua ada jejak dilihatnya. Atas
kondisi seperti itu Kareo berfikir barangkali ada orang jahat yang
membawa kapal mereka dan rombongan masih berada di antara semak tumbuhan
laut itu, iapun memutuskan untuk mencari pencari kerang yang lain di
dalam lebatnya tumbuhan bakau, barangkali mereka bernasib sama,
fikirnya, kerang di pundak ituia letakkan, sementara kakinya kian pucat
dan darah terus mengalir. Ketika berada di dalam lebatnya tumbuhan
bakau, tidak ada seorangpun dari rombongan pencari kerang itu, ia
kembali keluar menuju tepian namun hanya matahari yang hendak terbenam
yang membayang. Ia mulai curiga bahwa rombongan pencari kerang tersebut
bermaksud membuatnya celaka, karena di antara pencari kerang hanyaKareo
yang mendapat kerang berlipatganda jumlahnya, barangkali ada kecemburuan
atas hasil kerang yang ia dapatkan, fikirnya.
Di tengah
perjalanan rombongan pencari kerang, nahkoda mulai mencari-cari kareo,
seluruh anak buah kapal dicek satu persatu, kemudian salah seorang dari
pencari kerang itu menghadap ke nahkoda bahwa mereka melihat Kareo
sedang dililit Ular tumbuhan bakau, dan Kareo tidak bisa memberi
perlawanan sehingga ia tewas dan dibawa ular itu ke dalam lebatnya
tumbuhan bakau, mendengar itu semua, nahkoda kapal terkaget-kaget dan
merasa kehilangan, semua penumpang kapal dikumpulkan dalam sebuah rapat
untuk membahas kematian Kareo yang dimakan ular, sebab nenek Kareo dan
orang-orang di Pulau Samo tidak akan percaya begitu saja, sehingga
mencapai mufakat bahwa setibanya di Pulau Samo, akan langsung melapor
pada Imam Masjid dan Kepala Kampung.
Matahari
sudah terbenam, airlaut kian pasang, tidak ada tempat bagi Kareo untuk
berteduh dan mengamankan diri, ia merasa seperti hendak pingsan akibat
darah yang terus mengalir dari kakinya, ia pun berjalan tawakkal
menyusuri tepian tanaman bakau satu demi satu hendak mencari tempat
berteduh, setelah berjam-jam, air pasang terus meninggi,mulai dari lutut
hingga pinggangnya, kerang yang sedianya ia bawakan untuk kebutuhan
belanjanya bersama neneknya tidak terhiraukan lagi. Tanpa terasa
airsudah sampai setinggi leher, sepertinya tidak ada lagi pertolongan,
pasrah menerima nasib yang menimpanya disebabkan sentiment atas hasil
tangkapannya, iamengapungkan diri terbawa arus di sekitar perairan pulau
kerang itu, sembari melantunkan ayat-ayat suci Al-qur’an, ia menitiskan
air mata sembari berdo’a semoga Allah SWT menurunkan keajaiban padanya,
baru saja ia hendak terlelap mengapung seketika datang menabrak
punggungnya dengan keras, seekor ikan hiu,ia pun tersadar dan melihat
ikan hiu mengitarinya seperti hendak menerkam,spontan dengan sekuat
tenaga ia berenang ke pohon bakau yang setengahketinggian pohon itu juga
sudah terendam air laut pasang, situasi senyap,gelap, makhluk itu
hilang seketika, lalu tiba-tiba permukaan laut membuncah didepannya
hingga gelombang laut yang ditimbulkan menenggelamkannya, saat ia muncul
ke permukaan maka nampak jelas hiu raksasa berada tepat di depannya,
tanpa diduga-duga hiu itu menyampaikan pesan bahwa ia diperintahkan
untuk menyelamatkan Kareo, tanpa menunggu jawaban dari Kareo, hiu itu
langsungberbalik arah dan meminta Kareo untuk menungganginya, merasa
yakin dengan hiuitu, Kareo pun menungganginya, dengan nada sayup-sayup
Kareo mengatakan bahwaia tidak kuat untuk berpegangan, lalu hiu itu
memberikan pilihan, menempuh perjalanan dengan secepat kilat atau
melewati sebuah perkampungan terumbu karang yang indah di lautan yang
sangat dalam dan itu akan menghibur Kareo,lalu Kareo menyanggupi untuk
melewati dasar lautan yang dalam dan melintasieksotisme terumbu karang
dan segenap penghuninya, namun ia kembali bertanya “bagaimana aku
harus menahan nafas,sedangkan aku manusia tidak sepertimu yang hidup di
alam bawah laut ini, tidakkahaku akan kehabisan nafas ?“ Tanya
Kareo, lalu hiu itu meyakinkan bahwa dengan berdo’a yang tulus akan
datang keajaiban pada Kareo dan bernafas serasa seperti di daratan, lalu
ia kembali bertanya “lalu bagaimana aku harus menunggangimu, sedangkan kamu sangat besar ?”Tanya Kareo lagi, sebab ukurannya sama besar dengan kapal yang membawa rombongan pencari kerang itu, “denganmenunggangiku
akan terasa seperti duduk di singgasana, naiklah ke
punggungku,tenanglah maka kau akan melihat semua penduduk bawah laut,
dan kita akan sampaidi Pulau Samo dalam dua malam saja, sedangkan
temanku akan membawa kerang yangkau kumpulkan” jawab Hiu itu dengan
tuntas. Kareo sangat senang danlangsung menunggangi Hiu yang ia beri
nama Lanjar itu, barusaja Kareo hendak menunggangi Lanjar, tiba-tiba ia
hendak pingsan, tak kuasa ia mengangkat kakinya yang penuh dengan darah
yang mengalir, betis hingga pangkal pahanya pucatnampak seperti tak
berdarah, ia merintih, melihat itu Lanjar bertanya ada apadengan kaki
Kareo, lalu ia memberitahu Lanjar, kemudian Lanjar meminta Kareountuk
melukai sedikit siripnya, dimana akan keluar minyak yang bisa dioleskan
pada luka kaki Kareo, namun Kareo tak tega melukai sirip Lanjar, melihat
Kareoyang merintih kesakitan, Lanjar kembali meyakinkan bahwa ia tidak
akan apa-apadan memang hanya itu obat satu-satunya, lalu Kareo
menggoreskan kuku tangannya pada sirip Lanjar yang mulai mengapungkan
diri, spontan keluar darah dari siripnya, Kareo memalingkan wajahnya,
tak sanggup ia melihat, sesaat kemudian darah itu berhenti kemudian
disusul oleh minyak, Kareo meniriskan jempol tangannya lalu diusapkan
pada luka telapak kakinya yang menganga, luka itutertutup, darah
berhenti mengalir, badannya yang meriang berganti segar bugar,
kondisinya fit dan siap tancap gas melayang di sirkuit bawah laut yang
indah, seperti Kareo, luka di sirip lanjarpun tertutup dengan
sendirinya, keduanya taksabar, Kareo menghela nafas panjang sembari
memegang erat sirip Hiu raksasa itu, Lanjar mulai menenggelamkann
tubuhnya, kemudian gassssss !!!!!!. sejenak Kareo tersentak, ia tak bisa
menjaga keseimbangan, badan seperti melayang diudara saja, untung saja
tangannya kuat memegang sirip Lanjar, menyadari itu,Lanjar mengurangi
kecepatan dan menyesuaikan, tiba-tiba waaaaaaaawww !!! teriakKareo
terkagum dan merasa gembira melihat indahnya dunia bawah laut yang
penuheksotisme, Terumbu Karang yang warna-warni, ikan-ikan yang menari
mengitarikarang-karang cerah, belut berwarna pelangi menjulurkan kepala
bak menengoksesuatu dari jendelanya, gurita yang tiba-tiba berubah
warna, Lanjar hanyatersenyum mengetahui Kareo terpesona, ia pun
mengibaskan siripnyamelenggak-lenggok, menikung dan naik turun, Kareo
seperti naik rollercoaster,pemandangan benar-benar menyuguhkannya bagai
di syurga, padahal tiada sinaryang menyinari di bawah sana, namun
rumah-rumah ikan sangat terang benderang.
Fajar kini mulai
menyingsing,keduanya semakin asyik saja, tiba-tiba ada segerombolan
mahkluk besarmenyalipnya kencang, lalu makhluk itu menurunkan lajunya
persis di hadapanLanjar, eh ternyata kawan-kawan Hiu Lanjar, mereka lalu
membentuk formasi,nampaknya ikut merasa senang mengantarkan karoe
pulang, jumlahnya ada tujuhHiu, empat di kanan dan tiga di sebelah kiri,
saat pagi datang rombongan Hiuitu memperlihatkan kebolehan mereka
membentuk formasi, Lanjar hanya terdiamsaja, tersenyum dan
menggeleng-gelengkan kepalanya, Kareo tak sadar gembirakegirangan
melihat formasi yang unik itu, ia sendiri sampai menepuk-nepukpunggung
Lanjar, waaaawwwww !!!, bak dihipnotis akan keindahan yang tersuguh,tak
disangka Lanjar mendadak berhenti dan berbalik arah sehingga
kareoterlempar yang lalu disambutnya kembali, tak disangka Lanjar
sengajamengagetkan Kareo, bercanda seperti dua bocah bersahabat,
bersenda guraumenikmati alam bawah laut, terkadang melaju dengan
kecepatan tinggi, menikung,rupanya Kareo juga sudah paham cara
berpegangan sehingga nampak seperti Jokiyang menunggangi Kuda pada
pacuan bergengsi, kadang ia dan Lanjar bersama hiulain menjadi tontonan
yang menarik perhatian ikan-ikan clownfish, lionfish,penyu, sting ray
(ikan pari) kadang terkaget lalu berpindah tempat, ikan-ikanlain
menjulurkan kepala di lubang-lubang dan sela-sela dahan karang bagai
menyaksikan sesuatu di atas dan halaman rumah dari jendela.
Tiada terasa petualangan singkat Kareo dan Lanjar bersama Hiu-hiu
lainnya, jarak sudah dekat dengan Pulau Samo, berat nian hati ingin
berpisah, air mata Kareo berurai tak tertahankan. Setelah berada di
perairan Pulau Samo,Lanjar berhenti, teman-teman Hiu itu pun berhenti,
saling menatap, terdiam, bahasa tubuh sebagai pertanda tidak menghendaki
perpisahan, tanpa diberikanaba-aba, salah satu dari rombongan Hiu itu
merapat ke tepian lalu meletakkan kerang hasil tangkapan Kareo, setelah
meletakkan ia memandang ke arah Lanjar dan teman-teman Hiu lain, semua
masih terdiam, seperti semakin berat saja untuk berpisah, dua hari
bersama, menyelam bersama, menikung dan melayang bersama diareal Terumbu
Karang memang tidak mudah untuk diterima kala perpisahan sudahtiba,
namun Lanjar sudah melaksanakan tugas menolong anak yatim piatu yang
berbakti pada nenek sematawayangnya, rupanya memang tak sekedar
menjalankantugas, keduanya sangat akrab lebih dari tugas yang diberikan.
Setelah cukup lamaterdiam berat untuk berpisah, akhirnya Kareo turun
dari tunggangannya untuk mencium dan mengusap kepala Hiu teman-teman
Lanjar baru kemudian ia menghampiri Lanjar, Hiu yang sudah menghiburnya,
Hiu yang memperkenalkan kecantikan alam bawah laut, lebih daripada itu
Hiu yang sudah menyelamatkan nyawanya darikedengkian padanya, tadinya ia
mencoba mencari keajaiban hendak berenang kePulau Samo namun dengan
kehadiran Hiu ksatria itu keadaan lebih baik. Lamasaling menangisi,
Kareo berjalan ke tepian semakin terisak, sebentar lagi matahari
akanterbit, embun mulai tersapu sirna, air laut mulai pasang hingga
lehernya,persis keadaan dimana ia ditemui Lanjar malam itu, ia menengok
ke belakangsembari memikul kerang hasil tangkapannya, Lanjar masih
menatapnya dan belumsedikitpun bergeming, sementara teman-temannya
berbaris di belakangnya, Kareosemakin bersedih tak kuasa menahan isaknya
keluar sumpah dari mulutnya denganlantang “Hai langit ! Hai Bumi !
dan lautluas yang biru !, dengarkan dan saksikan !! bahwa aku tidak akan
memakan danmencelakakan Ikan Hiu, bahkan sampai tujuh turunan pun aku
tidak perkenankan,jika janji ini dilanggar maka aku siap dimakan sumpah
dalam bentuk apapun”mendengar itu Lanjar hanya menjawab “jikaingin
memanggilku, berjalanlah hingga air pasang sampai lehermu, dan jika
ingintetap bertemu denganku, cukup kau menyayangi nenekmu” mereka
kemudian berpaling dari Kareo masuk ke dalam air dan meninggalkan Kareo,
permukaan air jadiberiak, nampak ia mengibaskan siripnya dengan
kencang.
Kepulangan Kareo yang tiba lebih
dulu dari rombongan pencari kerang itu menjadi tanda tanya warga,
neneknya lalu menyarankan agar ia melaporkan diri pada Kepala Pulau
sebelum pakaian kering di badan, memang Kareo belum sempat bercerita
panjang padaneneknya, sementara warga juga belum banyak tahu akan
kepulangan Kareo yang tanpa rombongan itu, setelah berada di rumah
Kepala Pulau, ia pun bercerita panjang sembari memperlihatkan kerang
hasil tangkapannya, mendengar penuturanitu, Kepala Pulau langsung
memanggil para tetua Pulau untuk merundingkanperihal ini, akhirnya
keluarlah keputusan untuk membuktikan Kareo diperlakukanseperti yang
Kareo ceritakan maka Kepala dan tetua Pulau bersepakat
untukmenyembunyikan Kareo di dalam kamar Kepala Pulau sampai menunggu
kedatangan rombongan pencari kerang dan mendengarkan keterangannya,
semua bersepakat lalu keberadaan Kareo pun disembunyikan hingga
kedatangan rombongan pencari kerang, setelah menunggu beberapa hari maka
ada kapal yang barusaja merapat di tepian,ternyata benar itu adalah
rombongan pencari kerang, sudah banyak ibu-ibubakulan yang menunggu
kapal untuk bongkar muatan namun juragan memimpinrombongan turun dari
kapal menuju rumah Kepala Pulau, di dalam rumah Kepala Pulau sudah
berkumpul tetua pulau, warga terlebih ibu-ibu bertanya-tanya apa
gerangan yang sedang terjadi, namun tak seorangpun bisa menjawab keadaan
sebelum semua bertemu di rumah Kepala Pulau, sementara nenek Kareo
berusaha tenang sebab ia yakin cucunya ia kenal dan pasti tidak
bersalah. Setelah tibadi halaman rumah Kepala Pulau, salah seorang tetua
pulau turun dari rumah untuk menjemput lalu mempersilahkan untuk naik
ke rumah, tanpa disadari suasana begitu cepat heboh, mulai dari
anak-anak sampai ibu-ibu berkerumun datang kerumah Kepala Pulau, kepala
bersusun mengintip di sela-sela sambungan dinding rumah, di dalam
nampaknya suasana begitu tegang, di ruang depan sebagai ruang tamu sudah
duduk bersila dengan formasi melingkar Kepala Pulau dan segenap tetua
pulau, sementara Kareo disembunyikan di dalam kamar dan ia sendiri
mengintip dan dapat menyimak jelas ke ruang depan sebab hanya disekat
dinding bambu,“kedatangan kami ke rumah Tuan KepalaPulau ingin menyampaikan laporan duka kami selama mencari kerang” Juragankapal memulai pembicaraan “berita apa itujuragan ?, silahkan ceritakan pada kami !”
sahut Kepala Pulau “beberapahari yang lalu kami berangkat ke Pulau
kerang untuk mengumpulkan kerang, kamiberjumlah tiga belas orang,
setelah beberapa hari di Pulau Kerang, beberapa diantara rombongan kami
melihat Kareo dililit ular bakau yang besar, ia tewas dandiseret ke
dalam lebatnya hutan bakau, kami tidak bisa berbuat apa-apa”
jelasjuragan sembari menundukkan kepala, “semuaterjadi begitu cepat, sepertinya kami tidak sanggup menyelamatkannya darililitan kuat ular bakau itu”
tambah salah seorang anggota rombongan pencarikerang yang iri, ia pula
yang membawaberita tidak benar pada juragan dan yang lainnya, ibu-ibu
yang mendengarpenjelasan itu berurai airmata mengasihi Kareo,
membayangkan ia tidak berdayadan berteriak merasakan badanyya terkoyak
dan tercabik-cabik, merasakantulang-tulangnya remuk dililit ular itu, “terimakasih
atas penjelasan tuan juragan dan rombongan, namun untuk meyakinkan
kami, apakah tuan juragan dan segenap rombongan sebagai saksi untuk
bersumpah atas kebenaran musibah ini ? sebab ini akan
dipertanggungjawabkan di hadapan tetua kampong dandi hadapan Tuhan” pinta Kepala Pulau, “baiklahkami bersedia bersumpah di atas kitab suci dan bertanggungjawab atas kebenaran kejadian ini”
jawab juragan, Kepala Pulau kemudian mempersilahkan tetuaPulau untuk
mengambilalih proses pengambilan sumpah ini. Pengambilan sumpahselesai,
semakin banyak warga yang datang dengan airmata berlinang, “dimohonkepada tuan juragan dan rombongan untuk tetap di tempat, sebab tuan KepalaPulau ingin memperlihatkan sesuatu” pinta
salah seorang pembantu resmi Kepala Pulau, dengan berjalan pelan-pelan
Kepala Pulau mendampingi Kareo memperlihatkan dirinya pada tuan juragan
dan rombongan pencari kerang, betapa terkagetnya juragan dan rombongan
melihat Kareo yang hidup dan tak kurang satu apapun, muka mereka pucat,
saling menatap satu sama lain, Kepala Pulau kemudian meminta Kareo
bercerita tentang kejadian sebenarnya, tanpa menunggu lama-lama Kareo
menceritaka pengalaman selama berada di Pulau Kerang sampai bagaimana ia
diantarkan oleh Lanjar, Hiu yang diutus untuk menyelamatkan dirinya,
setelah semua tahu maka terbuktilah siapa yang salah dan membawa berita
bohong, warga yang berkumpul di sekitar halaman rumah Kepala Pulau
sontak menyoraki rombongan Pencari Kerang, adapun juragan menangis sebab
atas kecerobohannya membawa berita, “Tuan Kepala Pulau, !!! kami
akui kami membawa berita bohong, kami bersalah, dan kami siap menerima
hukuman yang seberat – beratnya” pinta tuan Juragan, yakni dengan
tidakmencelakakan ikan Hiu, tidak memakannya, bahkan ikut menjaga
kelestarian ikan Hiu, bahkan !!! sampai tujuh turunan tidak memakan Hiu”
pinta Kareo yang masih terkenang Lanjar, “baiklah, tetua pulau agar segera menyiapkan sumpah sesuai permintaan Kareo, tanpa mengurangi hukum Pulau Samo yang berlaku” perintah Kepala Pulau dengan lantang “siap tuan Kepala Pulau”
sahut tetua pulau yang kemudian mengangkat sumpah Juragan bserta
rombongan pencari kerang, mereka jugadihukum untuk membersihkan perairan
Pulau Samo setiap hari selama tiga tahun. Demikianlah cerita “Legenda Kareo dan Ikan Hiu”
yang diangkat berdasarkan penuturan orang-orang tua nelayan, sehingga
sampai saat ini ada beberapa keturunan masyarakat nelayan yang tidak
boleh memakan Hiu, jika ia memakannya maka ia akan mendapat celaka atau
badannya terasa gatal hingga luka-luka dengan sendirinya, tidak sekedar
akibat memakan, bahkan konon tidak boleh mengambil keuntungan dari Ikan
Hiu, baik penjualan ataupun imbalan jasa lainnya yang berkaitan dengan
Hiu, cerita ini pula yang menjaga kelestarian berbagai spesies Ikan Hiu
di Pulau Samo.
SEKIAN….!!!
0 komentar: