Wajah Keamanan Laut Kita (illegal fishing dan aparat)
Oleh Sahabuddin Tison
Menjaga Sumber Daya Kelautan & Perikanan sudah menjadi tanggungjawab bersama, dibangunnya kemitraan antara masyarakat dengan aparat penegak hukum dan pemerintah sebagai pembina diharapkan mampu menciptakan kondusifitas dalam memanfaatkan SDA tersebut, namun ada yang menarik dari tingkat pelaksanaan di lapangan, selalu saja ada egointerest di masing-masing instansi dan oknum-oknum tertentu dalam memandang persoalan tersebut, adanya keinginan untuk mencari keuntungan sendiri menjadikan setiap oknum menyalahgunakan wewenang yang diamanatkan UU dan regulasi lainnya, hal ini menciptakan maritime criminal, pemerasan, intimidasi, black partnership, kucing-kucingan dll, semisal komunitas fish bombers, para pengebom ikan akan merasa aman jika sudah "membayar" pada aparat, seteleh membayar, pengebom dapat leluasa berkuasa di laut, baik keleluasaan menentukan titik lokasi untuk dibom dan waktu mengebom dengan "paket sepuasnya/semaumu", tak cukup dengan membayar di muka tadi, setelah pulang mengebom, maka para oknum nakal tersebut akan menjemput hasil tangkapan, biasanya saat sedang di laut ataupun setelah pulang, pun tak cukup dari itu, kabarnya ada uang bulanan juga, wah ! Hebat ya, ternyata bomber-bomber kita lebih kaya dan berkuasa terhadap dan daripada seragam oknum itu.
Kondisi di atas, tidak saja berlaku bagi para pengebom, namun berlaku juga bagi pengguna bius, zat sianida atau potassium, mereka akan merasa aman beroperasi setelah "membeli" keamanan itu dan merasa aman setelah menjadi "nasabah" bulanan seragam oknum itu. Baik bomber atau pengguna potasium, di antara mereka ada juga bahkan yang diancam kalau membayar sedikit atau tidak sesuai dengan yang aparat harapkan, sehingga kondisi ini pula yang membuat mereka tertekan, lain halnya dengan bomber dan potasiers skala makro, tentu akan lebih menguntungkan, sehingga dari yang skala kecil akan lebih baik bagi mereka menjadi lebih besar, ini berarti kerusakan karang yang sempit menjadi diperluas.
Kemudian perihal kedua, yakni mereka para legal fishing yang ramah lingkungan dan sudah menerapkan standard dan prosedur-prosedur yang benar, namun keadaan ini wah sama saja "memiskinkan aparat" maka harus dijewer/dicubit, tak urung intimidasipun mulai dilancarkan, "salah nomor celanalah, salah ukuran dayunglah, salah warna cat perahulah segala macam" yang penting fulusnya bisa dirogoh, jika tidak maka akan dibentak keras "braaaaak", wah ternyata hebat aparat kita ya ?, sehingga dalam satu kelakar nelayan mengatakan bahwa "oknum aparat itulah sesungguhnya nelayan yang berpenghasilan, bukan kita yang menerjang ombak".
Melihat konstitusi bahwa di dalam UU No 45 Tahun 2009 Tentang Perikanan bahwa di dalamnya TNI melalui Lanal/sebutan lainnya, Polri melalui Polairud dan Pemerintah melalui PPNS Dinas terkait mempunyai kewenangan yang sama dan berbeda, sama dalam hal pembinaan dan beda dalam wewenang penindakan, namun kenyataan di lapangan selalu terjadi egoinstansi untuk pencitraan, kadang salih menyalahkan, bahkan di beberapa daerah ada yang salah satu dari 3 unsur tersebut yang malah lebih berperan baik dalam hal-hal positif maupun hal-hal menyimpang.
Ketiga instansi tersebut jika mengajukan pertanyaan perihal maritime securty pasti jawabannya kurangnya anggaran pengawasan, dengan kata lain kurangnya anggaran dari negara untuk membiayai patroli laut, sehingga banyak aktifitas illegal fishing yang tidak terjangkau dan terpantau dan luput dari kegiatan patroli, sehingga anggaranpun ditambah demi efektifitas penjagaan laut. Dengan anggaran yang "besar" maka tidak ada alasan lagi untuk tidak bisa membeli bahan bakar, penambahan personel, perbekalan selama berpatroli, upaya intensifikasi patroli dapat meningkat, namun bak gayung bersambut, oleh oknum aparat tertentu ini manjadi lahan baru, bahkan kabar dari laut ada oknum tertentu yang menjual BBMnya pada nelayan dengan kucing-kucingan biar menunjang dalih bahwa BBMnya habis untuk patroli. It's wonderful.
Pada lain hal, jumlah populasi nelayan semakin bertambah dangan komparasi jumlah titik penangkapan yang tidak bertambah, sehingga ini menjadi cikal bakal konfli baru saat pada waktu yang bersamaan nelayan memanfaatkan titik penangkapan yang sama, sementara di ranah otoritas yang membidangi teritorial dan kebijakan kelautan perikanan ini tidak pernah difikirkan, kemudian yang lebih seksi lagi ketika terjadi tabrakan lalu lintas laut antar nelayan, tidak ada tempat mengadu dan menuntut segala persoalan laut yang misteri ini, istilah saya "misteri hukum laut".
Bersambung............ (Kebijakan--)
Menjaga Sumber Daya Kelautan & Perikanan sudah menjadi tanggungjawab bersama, dibangunnya kemitraan antara masyarakat dengan aparat penegak hukum dan pemerintah sebagai pembina diharapkan mampu menciptakan kondusifitas dalam memanfaatkan SDA tersebut, namun ada yang menarik dari tingkat pelaksanaan di lapangan, selalu saja ada egointerest di masing-masing instansi dan oknum-oknum tertentu dalam memandang persoalan tersebut, adanya keinginan untuk mencari keuntungan sendiri menjadikan setiap oknum menyalahgunakan wewenang yang diamanatkan UU dan regulasi lainnya, hal ini menciptakan maritime criminal, pemerasan, intimidasi, black partnership, kucing-kucingan dll, semisal komunitas fish bombers, para pengebom ikan akan merasa aman jika sudah "membayar" pada aparat, seteleh membayar, pengebom dapat leluasa berkuasa di laut, baik keleluasaan menentukan titik lokasi untuk dibom dan waktu mengebom dengan "paket sepuasnya/semaumu", tak cukup dengan membayar di muka tadi, setelah pulang mengebom, maka para oknum nakal tersebut akan menjemput hasil tangkapan, biasanya saat sedang di laut ataupun setelah pulang, pun tak cukup dari itu, kabarnya ada uang bulanan juga, wah ! Hebat ya, ternyata bomber-bomber kita lebih kaya dan berkuasa terhadap dan daripada seragam oknum itu.
Kondisi di atas, tidak saja berlaku bagi para pengebom, namun berlaku juga bagi pengguna bius, zat sianida atau potassium, mereka akan merasa aman beroperasi setelah "membeli" keamanan itu dan merasa aman setelah menjadi "nasabah" bulanan seragam oknum itu. Baik bomber atau pengguna potasium, di antara mereka ada juga bahkan yang diancam kalau membayar sedikit atau tidak sesuai dengan yang aparat harapkan, sehingga kondisi ini pula yang membuat mereka tertekan, lain halnya dengan bomber dan potasiers skala makro, tentu akan lebih menguntungkan, sehingga dari yang skala kecil akan lebih baik bagi mereka menjadi lebih besar, ini berarti kerusakan karang yang sempit menjadi diperluas.
Kemudian perihal kedua, yakni mereka para legal fishing yang ramah lingkungan dan sudah menerapkan standard dan prosedur-prosedur yang benar, namun keadaan ini wah sama saja "memiskinkan aparat" maka harus dijewer/dicubit, tak urung intimidasipun mulai dilancarkan, "salah nomor celanalah, salah ukuran dayunglah, salah warna cat perahulah segala macam" yang penting fulusnya bisa dirogoh, jika tidak maka akan dibentak keras "braaaaak", wah ternyata hebat aparat kita ya ?, sehingga dalam satu kelakar nelayan mengatakan bahwa "oknum aparat itulah sesungguhnya nelayan yang berpenghasilan, bukan kita yang menerjang ombak".
Melihat konstitusi bahwa di dalam UU No 45 Tahun 2009 Tentang Perikanan bahwa di dalamnya TNI melalui Lanal/sebutan lainnya, Polri melalui Polairud dan Pemerintah melalui PPNS Dinas terkait mempunyai kewenangan yang sama dan berbeda, sama dalam hal pembinaan dan beda dalam wewenang penindakan, namun kenyataan di lapangan selalu terjadi egoinstansi untuk pencitraan, kadang salih menyalahkan, bahkan di beberapa daerah ada yang salah satu dari 3 unsur tersebut yang malah lebih berperan baik dalam hal-hal positif maupun hal-hal menyimpang.
Ketiga instansi tersebut jika mengajukan pertanyaan perihal maritime securty pasti jawabannya kurangnya anggaran pengawasan, dengan kata lain kurangnya anggaran dari negara untuk membiayai patroli laut, sehingga banyak aktifitas illegal fishing yang tidak terjangkau dan terpantau dan luput dari kegiatan patroli, sehingga anggaranpun ditambah demi efektifitas penjagaan laut. Dengan anggaran yang "besar" maka tidak ada alasan lagi untuk tidak bisa membeli bahan bakar, penambahan personel, perbekalan selama berpatroli, upaya intensifikasi patroli dapat meningkat, namun bak gayung bersambut, oleh oknum aparat tertentu ini manjadi lahan baru, bahkan kabar dari laut ada oknum tertentu yang menjual BBMnya pada nelayan dengan kucing-kucingan biar menunjang dalih bahwa BBMnya habis untuk patroli. It's wonderful.
Pada lain hal, jumlah populasi nelayan semakin bertambah dangan komparasi jumlah titik penangkapan yang tidak bertambah, sehingga ini menjadi cikal bakal konfli baru saat pada waktu yang bersamaan nelayan memanfaatkan titik penangkapan yang sama, sementara di ranah otoritas yang membidangi teritorial dan kebijakan kelautan perikanan ini tidak pernah difikirkan, kemudian yang lebih seksi lagi ketika terjadi tabrakan lalu lintas laut antar nelayan, tidak ada tempat mengadu dan menuntut segala persoalan laut yang misteri ini, istilah saya "misteri hukum laut".
Bersambung............ (Kebijakan--)
0 komentar: